Peranan perawat jiwa di RS UMUM

Sindonews.com - Kontribusi keperawatan jiwa pada pasien sakit fisik yang dirawat di rumah sakit umum belum berkembang dengan baik. Faktanya, ditemukan pasien dengan penyakit fisik mengalami ansietas dan depresi. 


Penelitian yang dilakukan Siege dan Giese Davis tahun 20003 diketahui pasien kanker yang mengalami depresi ringan sedang (33 persen), depresi berat (25 persen). Sedangkan tahun 2007 yang dilakukan Wilson, diketahui ansietas dan depresi (13,9 persen) dan ansietas mengalami depresi (20,7 persen). Sedangkan, penelitian di Indonesia, ditemukan 98,1 persen pasien kanker mengalami depresi. 



"Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan keperawatan jiwa di rumah sakit umum untuk pasien dengan masalah fisik karena depresi dapat berdampak pada kualitas hidup," kata Budi Anna Keliat dalam pidato upacara pengukuhan guru besar tetap dalam bidang keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) di Balai Sidang UI, Depok, Rabu (27/03/2013).



Salah satu alasan masuknya keperawatan kesehatan jiwa pada arus utama pelayanan keperawatan jiwa di rumah sakit umum karena meningkatnya masalah kesehatan jiwa pada pasien dengan sakit fisik. Pasien memerlukan perawatan pada respons pasien secara emosi, spiritual, perilaku dan kognitif terhadap masalah fisik yang dialaminya. 



Psychiatric and mental liaison nurse adalah perawat yang memberikan konsultasi kesehatan jiwa pada pasien sakit fisik. Dengan melakukan asesmen dan tindakan baik kepada pasien maupun kepada keluarga. 



Perawat memberikan asuhan keperawatan secara holisitik. Artinya, bukan hanya kepada diagnosis fisik saja, tetapi juga diagnosis psikososial pada masalah kesehatan jiwa pasien. 



"Asuhan keperawatan difokuskan pada masalah biologis, pikiran, emosi, psikologis, spiritual, sosial dan lingkungan pasien," tukasnya.



Asuhan keperawatan yang diberikan dengan pendekatan consultation liaison mental health nursing yang berfokus pada diagnosis keperawatan yang berkaitan dengan diagnosa medis. 



"Standar asuhan keperawatan generalis dan terapi modalitas keperawatan jiwa telah dikembangkan untuk menyelesaikan diagnosis keperawatan yang sering ditemukan," ujarnya.



Kontribusi keperawatan jiwa pada pelayanan kesehatan jiwa di rumah sakit umum telah memberikan perbaikan kondisi kesehatan pasien dan keluarganya. "Hal ini perlu terus dilaksanakan agar perawat terasa bermakna bagi pasien, keluarga dan pelayanan kesehatan secara keseluruhan," tutupnya. 



Segera Rampungkan RUU Kesehatan Jiwa


Nova Riyanti Yusuf (GATRAnews/Adi Wijaya)
Jakarta, GATRAnews - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Jiwa harus segera dirampungkan di tengah maraknya pembunuhan disertai mutilasi, yang diduga pelakunya mengalami gangguan jiwa.

"Urgensi RUU Kesehatan Jiwa juga semakin menggaung karena dewasa ini makin sering kita dengar mengenai kasus pembunuhan disertai dengan mutilasi," tegas Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nova Riyanti Yusuf, di Jakarta, Sabtu (23/3).

Noriyu, begitu sapaan Nova Rianti Yusuf yang juga berprofesi sebagai dokter spesialis kejiwaan itu menuturkan, masih hangat dalam pemberitaan adalah kasus mutilasi dengan tersangka A dan korban TAD di Ancol Jakarta serta tersangka B dan korban DSA yang potongan mayatnya dibuang di jalan tol Cikampek, pada awal 2013.

Menurutnya, maraknya kasus pembunuhan disertai mutilasi tersebut menimbulkan pertanyaan, mengapa seorang manusia tega memutilasi sesama manusia, apakah dia melakukannya dengan penuh kesadaran karena ingin menghilangkan barang bukti atau sang pelaku justru mengalami gangguan kejiwaan.

Sayangnya, kasus mutilasi tidak diatur dalam peraturan tersendiri di negeri ini, sehingga aparat penegak hukum selama ini menyamakan kasus mutilasi dengan pengaturan tindak pidana terhadap nyawa pada umumnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 338-340 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun.

Persoalan menjadi menarik ketika sang pelaku ternyata orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), karena Pasal 44 KUHP mengecualikan pelaku dengan pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang tersebut dimasukkan ke rumah sakit jiwa selama paling lama satu tahun.

Selain itu, imbuh dia, Pasal 44 KUHP memasukkan gangguan jiwa sebagai salah satu alasan pemaaf, namun di dalam KUHP tidak terdapat pembatasan mengenai jenis-jenis gangguan jiwa yang dapat dimintai ataupun tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Kemudian, Pasal 44 KUHP juga tidak menyebutkan bagaimana dan siapa yang berhak melakukan pemeriksaan kondisi kejiwaan terhadap tersangka pelaku tindak pidana yang diduga ODGJ, penanganan pra-peradilan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut lah yang ingin diatur oleh RUU tentang Kesehatan Jiwa di dalam bab khusus, yaitu bab Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Hukum. (IS)