Dr. Suparyanto, M.Kes
2.1 Konsep Autis
2.1.1 Pengertian
Autisme berasal dari kata “auto” yang artinya sendiri. Istilah ini dipakai karena mereka yang mengidap gejala autisme seringkali memang terlihat seperti orang yang hidup sendiri. Mereka seolah-olah hidup di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak sosial yang ada disekitarnya. Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menyebabkan funsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan interaksi sosialnya (Sunu, 2012).
Kata autistik diambil dari kata Yunani, autos = aku, yaitu seluruh sikap anak yang mengarah pada dunianya sendiri. Istilah autistik menunjukkan suatu gejala psikologis yang unik dan menonjol, yakni mengacuhkan suara, penglihatan atau kejadian-kejadian yang melibatkan dirinya (Pieter, dkk., 2011)
Autisme adalah gangguan perkembangan perilaku dengan cakupan yang luas. Anak mungkin menderita autis jika menunjukkan gabungan kesulitan-kesulitan seperti interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi (Laurent, 2009).
Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti suatu aliran. Berarti autisme adalah suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autis adalah suatu gangguan perkembangan yang komplek menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, dan emosi (Jurnal: Malik, dkk., 2010).
Autisme adalah gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain. Penyandang autis tidak dapat berhubungan dengan orang lain secara berarti karena antara lain ketidakmampuan berkomunikasi verbal maupun non verbal (Jurnal: Habiburrohman, 2011).
2.1.2 Penyebab Autis
Sampai sekarang belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab timbulnya autis berdasarkan beberapa hasil penelitian:
a. Faktor Psikologis dan Keluarga
Faktor-faktor psikologis yang dapat menyebabkan gangguan autis adalah ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri yang sebenarnya berbeda dengan orang lain, tidak memiliki percaya diri pada kekuatan dan potensinya, sikap menarik diri dari situasi sosial, pandangan dunia luar yang terlalu sempit, disabilitas kognitif (keterlambatan kognitif), kegagalan dalam relasi sosial, ketidakmampuan berbahasa, rendahnya kosep diri dan perilaku yang tidak lazim (Pieter, dkk., 2011).
Beberapa ahli (Kanner dan Bruno Bettelhem) menganggap autisme sebagai akibat hubungan yang dingin, tidak akrab antara orang tua (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik (Jurnal: Pertiwi, 2013).
b. Faktor Biologis
1) Faktor genetik
Yaitu keluarga yang terdapat anak autistik memiliki resiko lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal. Hal ini didasarkan pada pewarisan sifat-sifat induk melalui kromosom. Manusia normal mengandung 46 kromosom, atau dapat dikatakan 23 kromosom dari laki-laki dan 23 kromosom dari perempuan. Sedangkan kromosom manusia yang tidak normal memiliki 45 atau 47 buah kromosom. Kromosom yang tidak normal inilah yang membawa sifat keturunan gangguan mental.
Kromosom sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kromosom sek yang terdiri dari satu pasang kromosom yang menentukan jenis kelamin, dan kromosom otomos yang merupakan kromosom pasangan pertama sampai pasangan ke-22 yang mewarisi sifat-sifat induknya seperti bentuk badan, warna kulit, intelegensi, bakat-bakat khusus dan juga gangguan mental (Jurnal: Setyawan, 2010).
Menurut para peneliti, faktor genetik memegang peranan kuat sebagai penyebab autis karena manusia banyak mengalami mutasi genetik akibat dari cara hidup yang semakin “modern” seperti penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan faktor udara yang semakin terpolusi (Maulana, 2007).
Hasil penelitian lain menemukan bahwa gangguan autistik lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, yakni sekitar 3-5 lebih banyak pada anak laki-laki. Namun tingkat keparahannya lebih banyak terjadi pada anak perempuan, apalagi jika memiliki riwayat keluarga autistik. Sementara penelitian Cook (2001) menemukan bahwa gangguan autis memiliki komponen genetik dari keluarga yang memiliki anak autis berkisar 3-5%. Hasil penelitian pada anak kembar ternyata ditemukan bahwa adanya kesesuaian gen gangguan autis pada anak kembar monozigotik dengan angka kontribusi diperkirakan sekitar 36% (Pieter, dkk., 2011).
2) Pre Natal
Beberapa faktor yang dapat memicu munculnya autis pada masa kehamilan terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan oleh polutan logam berat (Pb, Hg, Cd, Al), infeksi (toksoplasma, rubella, candida, dan sebagainya), zat aditif (pengawet, pewarna dan MSG), hiperemesis (muntah-muntah berat), perdarahan berat, dan alergi berat (Sunu, 2012).
a) Lama masa kehamilan
Penelitian yang dilakukan Tommy Movsas dari Michigan State University menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur (sebelum usia kandungan cukup bulan) mempunyai risiko tinggi mengidap autis. Demikian juga jika lahirnya lebih lama dari masa kehamilan normal, risiko mengidap autis juga sama tinggi (Pramudiarja, 2013).
Usia kehamilan normal pada ibu hamil yaitu 37-42 minggu. Sedangkan kehamilan yang lebih dari 42 minggu disebut sebagai kehamilan lewat waktu (postterm), dan disebut kehamilan pretermjika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Biasanya bayi yang lahir prematur akan mudah terserang penyakit, yaitu penyakit kuning. Disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Hal ini berdampak pada bayi dimana kekebalan tubuh bayi masih lemah karena fungsi organ tubuhnya belum terbentuk sempurna, sehingga perkembangan bayi terganggu (Hartati, 2010).
b) Obesitas
Menurut Paula Krakowiak, epidemiolog dari UC Davis MIND Institute, penelitian terbaru yang dilakukan para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC Davis MIND Institute menemukan bahwa ibu yang obesitas beresiko 67% lebih besar melahirkan anak yang menyandang autis (Kompas.com).
Menurut dr. Suririnah, bahwa selama kehamilan, ibu hamil perlu untuk bertambah berat badan (Hartati, 2010). Berat badan wanita hamil akan mengalami kenaikan sekitar 6,5-16,5 kg. Metode yang biasa digunakan adalah BMI (Body Mass Index). Kenaikan berat badan terlalu banyak ditemukan pada kasuspreeklampsi dan eklampsi (Rukiyah, dkk., 2009). Hal ini berhubungan dengan hipertensi pada kehamilan yang dapat dengan cepat menimbulkan oliguria dan disfungsi ginjal. Sehingga prognosis pada bayi dan ibunya menjadi serius (Solikhah, 2011).
c) Diabetes
Selain obesitas, hasil penelitian para ilmuwan yang berafiliasi dengan UC Davis MIND Institue juga menemukan bahwa penderita diabetes berisiko 2,3 kali lebih besar memiliki anak dengan gangguan perkembangan dibandingkan ibu dengan kondisi sehat. Namun, proporsi ibu dengan diabetes yang memiliki anak autis lebih tinggi daripada ibu yang sehat, meski secara statistik tidak terlalu signifikan. Studi ini juga menemukan, anak penyandang autis dari ibu penderita diabetes lebih mungkin mengalami kecacatan (rendahnya pemahaman bahasa dan komunikasi) daripada anak autis yang lahir dari ibu yang sehat. Namun, anak-anak tanpa autisme yang lahir dari ibu penderita diabetes juga rentan mengalami gangguan sosialisasi jika dibandingkan dengan anak tanpa autis dari ibu yang sehat (Kompas.com).
Menurut peneliti, pada ibu penderita diabetes dan kemungkinan kondisi pra-diabetes di masa kehamilan, pengaturan glukosa menjadi sulit diatur sehingga meningkatkan produksi insulin pada janin. Produksi insulin yang tinggi membuat kebutuhan akan oksigen menjadi lebih besar, akibatnya suplai oksigen bagi janin menjadi berkurang (Kompas.com). Kejadian diabetes pada ibu hamil bisa didapat saat hamil atau sebelumnya memang memiliki kadar gula yang tinggi (Solikhah, 2011).
Beberapa pengaruh penyakit diabetes terhadap janin atau bayi:
(1) Bayi berisiko mengalami kelainan jiwa
(2) Bayi berisiko mengidap penyakit gula
(3) Bayi berisiko mengalami cacat bawaan
(4) Kematian janin dalam rahim (> ke-36) dan lahir mati
(5) Bayi dengan dismaturitas
(Solikhah, 2011).
d) Perdarahan selama masa kehamilan
Perdarahan selama kehamilan sering bersumber dariplacenta complication yang menyebabkan gangguan perkembangan otak. Perdarahan pada awal kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan memiliki berat bayi yang rendah, dimana kondisi ini sangat rentan terjadinya autistik. Dalam periode neonatus, anak autis mempunyai insiden yang tinggi untuk mengalami sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa komplikasi yang timbul pada neonatus mempengaruhi kondisi fisik bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal yang paling berbahaya adalah hambatan aliran darah pada otak dan oksigen ke seluruh tubuh. Dan organ yang paling sensitif terkena autistik adalah otak (Pieter, dkk., 2011).
Pada awal kehamilan, perdarahan abnormal adalah merah, banyak, atau perdarahan dengan rasa nyeri (Asrinah, 2010). Sedangkan, pada kehamilan lanjut perdarahan yang berbahaya antara 24-28 minggu. Hal ini dikarenakan sifat perdarahan yang cepat dan banyak yang berasal dari gangguan pada plasenta (Dewi, 2011). Apabila diagnosa klinik dapat ditegakkan, itu berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 500 ml.
e) Usia orang tua saat hamil
Menurut Alycia Halladay, Direktur Riset Studi LingkunganAutism Speaks, makin tua usia orangtua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak menderita autis. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50 persen memiliki anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Hal ini diduga karena terjadinya faktor mutasi gen (Kompas.com).
Terlalu tua untuk hamil (usia diatas 35 tahun) bisa jadi berakibat pada persalinan, yaitu persalinan memakan waktu cukup lama, disertai perdarahan dan risiko cacat bawaan. Sedangkan hamil di bawah usia 20 tahun bisa berakibat kesulitan dalam melahirkan dan keracunan saat hamil (Hartati, 2010).
3) Zat-zat aditif yang mencemari otak anak
Menurut Sunu, beberapa faktor yang berpotensi menjadi penyebab autis pada anak antara lain seperti:
a) Asupan MSG (Mono Sodium Glutamat)
b) Protein tepung terigu (gluten), dan protein susu sapi (kasein)
c) Zat perwarna
d) Bahan pengawet
e) Polutan logam berat. Dari hasil tes pada darah dan rambut beberapa anak autis ditemukan kandungan logam berat dan beracun seperti arsenik, antimoni, kadmium (Cd), air raksa (Hg), atau timbal (Pb). Diduga kemampuan tubuh anak autis tidak mampu melakukan sekresi terhadap logam berat akibat masalah yang sifatnya genetis.
f) Bahkan beberapa ahli juga berpendapat bahwa jenis imunisasi seperti MRR (Mump, Measles, and Rubbella) dan hepatitis B pada bayi dapat juga menjadi pemicu munculnya autisme, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan (Sunu, 2012). Selama ini pemberian vaksin kombinasi three in one, yakni vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR) dan vaksin hepatitis B masih dianggap sebagai vaksin penyelamat manusia. Akan tetapi, dari data-data patologis ditemukan bahwa vaksin MMR juga dianggap bisa memberikan kontribusi pada pembentukan autis. Diperkirakan vaksin ini mengandung zat pengawet (Pieter, dkk., 2011).
4) Neurobiologis
Dari data prevalensi menunjukkan bahwa tiga dari empat penderita autis memiliki kecenderungan retradasi mental dengan tingkat estimasi antara 30%-70%, sehingga penderita autis memperlihatkan abnormalitas neurobiologis, seperti kekakuan gerakan tubuh dan cara berjalan yang abnormal. Hasil CATSCAN (Computer Assisted Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) menemukan adanya abnormalitas cerebellum pada penderita autis. Penemuan ini diperkuat oleh penelitian Courchesne (1991) yang menemukan adanya keterkaitan abnormalitas otak bagian cerebellumterhadap gangguan autistik (Pieter, dkk., 2011).
5) Gangguan sistem pencernaan
Kurangnya enzim sekretin diketahui berhubungan dengan munculnya gejala autisme. Kasus semacam ini ditemukan pada seorang penderita autis bernama Parker Back pada tahun 1997. Selain itu, hasil pemeriksaan usus anak-anak yang mengalami autisme ditemukan adanya peradangan. Dari hasil penelitian, peradangan ini diketahui disebabkan oleh virus campak (Sunu, 2012).
c. Faktor Sosio Kultural
Yaitu faktor yang berlangsung dalam lingkungan hidup (kehidupan sosial). Faktor ini mempunyai daya dorong terhadap perkembangan kepribadian anak. Faktor sosio kultural ini juga meliputi objek dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang dapat berakibat tekanan pada individu sehingga melahirkan berbagai gangguan, seperti suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi kekerasan, menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, politik, dan sebagainya, perubahan sosial dan IPTEK yang sangat cepat (Jurnal: Setyawan, 2010).
2.1.3 Ciri-Ciri Autis
a. Gangguan pada Kognitif
Dalam bidang kognitif, mereka masih mempunyai ingatan yang cukup baik, namun kurang memiliki fantasi atau imajinasi sehingga memiliki sifat ketidaktertarikan yang kompleks baik kepada orang, karakter khayalan, binatang, ataupun peran orang dewasa.
b. Gangguan pada Bidang Interaksi Sosial
Anak autistik sering memperlihatkan kurangnya respons sosial dan gagal membentuk ikatan sosial sekalipun sudah terbiasa bergaul dengan pengasuhnya. Orang-orang disekitarnya kerap kali dimanifestasikan sebagai objek pencapaian kebutuhannya. Akibatnya anak autis kurang memiliki respon sosial ketika dia terluka, sakit atau kelelahan, sehingga mereka sama sekali tidak mencari atau membutuhkan orang lain untuk mendapatkan pertolongan.
c. Gangguan Bidang Komunikasi
Sejak dilahirkan, anak autis memiliki kontak sosial yang sangat terbatas. Perhatian mereka hampir tidak ada, terfokus kepada orang lain, melainkan pada benda-benda mati yang disertai dengan taktil kenestesis, yakni gerakan yang dilakukan bersamaan dengan nafsu meraba-raba dirinya sendiri.
d. Gangguan dalam Persepsi Sensoris
Gangguan ini ditandai dengan perilaku mencium-cium, menggigit-gigit mainan atau benda-benda, dan bila mendengarkan suara yang baru, mereka langsung menutup telinganya. Anak autis juga tidak menyukai rabaan dan pelukan.
e. Gangguan dalam Perilaku
Gangguan perilaku pada anak autis ditandai dengan perilaku yang berlebihan (excessive) dan perilaku yang sangat kurang (defisit), seperti impulsif, repetitif, dan pada waktu tertentu dia akan merasa terkesan dan melakukan permainan yang monoton. Hal ini diakibatkan pola kelekatan terhadap benda-benda tertentu.
f. Gangguan dalam Bidang Perasaan
Gangguan dalam bidang perasaan ditandai dengan kurangnya ras empati (kurang mampu berbagi perasaan), tidak memiliki simpati, toleransi yang sangat rendah, misal tertawa, menangis, marah atau mengamuk (temper tantrum) tanpa sebab dan sulit dikendalikan, terutama apabila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, maka perilaku agresi atau merusaknya sulit dikontrol. Apalagi jika perubahan rutinitas hariannya terganggu, maka dia sering mengalami distress (Pieter, dkk., 2011).
2.1.4 Klasifikasi Autis
Menurut Yatim (2002), klasifikasi anak autis dikelompokkan menjadi tiga, antar lain:
a. Autisme Persepsi
Dianggap autisme yang asli karena kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh.
b. Autisme Reaksi
Terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan seperti orangtua meninggal, sakit berat, pindah rumah atau sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan memumculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang disertai kejang-kejang. Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6 sampai 7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.
c. Autisme yang timbul kemudian
Terjadi setelah anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat (Pertiwi, 2013).
2.1.5 Gejala Autis
Gejala-gejala pada penyandang autis bervariasi, bisa ringan maupun berat. Gejala tersebut antara lain:
a. Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah
b. Selalu diam sepanjang waktu
c. Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh ia akan mengucapkan atau menceritakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian diam menyendiri lagi
d. Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut, tidak punya keinginan yang bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya
e. Tidak tampak ceria
f. Tidak peduli terhadap sekelilingnya, kecuali pada benda yang disukainya
(Delphie, 2006).
Untuk menegakkan sebuah diagnosa bahwa seorang anak mengidap autisme, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Selama ini panduan yang dipakai oleh para dokter, psikiater, atau psikolog biasanya merujuk pada ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993, atau menggunakan rumus dalam DSM-IV (Diagnostic Statistical Manual) 1994 yang disusun oleh kelompok Psikiatri di Amerika Serikat sebagai panduan untuk menegakkan diagnosa. Pada dasarnya diagnosa autisme yang ditegakkan berdasarkan ICD-10 atau DSM-IV menunjukkan kriteria yang sama (Sunu, 2012).
2.1.6 Diagnosis dan Gambaran Klinis Autis
Untuk mendiagnosis autisme bukanlah hal yang mudah. Kesulitan tersebut ada pada bagaimana mengenal dan menilai gejala-gejala autisme. Hal ini dikarenakan pada anak kecil, bicara dan keterampilan berfikirnya masih dalam taraf perkembangan.
Maka sebaiknya dilakukan berbagai macam tes kesehatan yang tersedia untuk membantu diagnosis autisme, yaitu:
a. Pemeriksaan pendengaran (audiometric)
b. Electrochepalogram (EEG)
c. MRI
d. CATSCAN
e. Tes genetik
Setelah menilai hasil observasi dengan cermat dan hasil tes, maka para ahli membuat diagnosis autisme bila terdapat bukti-bukti jelas, seperti:
a. Hubungan sosial yang terbatas dan buruk
b. Keterampilan komunikasi belum sempurna
c. Perilaku berulang-ulang, minat dan aktifitaspun berkurang
(Jurnal: Bangun, 2011).
2.1.7 Dampak Autis
a. Bagi orang tua
Orang tua yang memiliki anak autis menghadapi kondisi dimana terjadi ketidakcocokan antara kenyataan dan harapan yang diinginkannya. Sebagai orang tua pastilah menginginkan anak yang dilahirkannya adalah anak yang sehat dan normal, namun apabila kenyataannya tidak seperti yang diharapkan pastilah akan menimbulkan dampak pada mereka. Konflik-konflik yang mungkin terjadi pada keluarga dengan anak autis:
1) Masalah keuangan
Masalah keuangan ini berhubungan dengan terapi untuk anak autis yang memerlukan biaya yang mahal, dan apabila konflik tersebut tidak segera diselesaikan maka akan memunculkan dampak psikologis pada orang tua, seperti ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan terapi anaknya, dan rasa bersalah, yang pada akhirnya memicu stres bahkan depresi.
2) Kecenderungan mengingkari kenyataan
Sebagai orang tua, hal yang paling dibanggakan adalah anaknya, maka ketika mengetahui anaknya autis, orang tua akan berusaha mengingkari. Apalagi bila lingkungan disekitarnya memiliki anak-anak yang sehat, orang tua juga akan merasa harga dirinya turun karena tidak mampu menerima keadaan anaknya dengan baik (Jurnal: Pujiani, 2007).
b. Bagi saudara penyandang autis
Saudara penyandang autis akan merasa khawatir apakah mereka juga akan menderita hal yang sama. Dan juga sedih karena mereka tidak punya hubungan bermain dengan saudara mereka seperti yang dimiliki teman-teman lainnya. Mereka mungkin jadi takut pada saudara mereka atau cemburu atas waktu yang dicurahkan orang tua mereka pada saudaranya.
c. Bagi kakek dan nenek
Sulit bagi kakek dan nenek saat mendengar cucu mereka didiagnosa autis. Mereka akan mengalami berbagai emosi yang berbeda termasuk kaget, pengabaian, kesedihan, dan khawatir (Williams, 2007).
2.1.8 Cara Penanganan Anak Penyandang Autis
Peran orang tua dalam menyembuhkan anak autis sangat penting. Selain harus melakukan pengobatan medis, orang tua juga dituntut bijak dan sabar dalam menghadapi kondisi anak. Selain itu, orang tua juga diharapkan mampu mengetahui dinamika perkembangan dan kebutuhan psikologi anak autistik. Hal ini dapat dilakukan melalui sikap penerimaan dan pemberian kasih sayang serta pemahaman kekurangan anak autis dari orang tua, terutama sikap ibu dan anggota keluarga lainnya (Pieter, dkk., 2011).
Selain peran orang tua, ada beberapa terapi yang bisa dijalani oleh anak autis, antara lain:
a. Terapi Perilaku
Terapi perilaku merupakan suatu teknik terapi yang bertujuan untuk menghilangkan perilaku-perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial dan untuk membangun perilaku-perilaku yang secara sosial bermanfaat dan dapat diterima.
Perilaku anak autis yang tidak wajar pada dasarnya dapat kita bedakan menjadi dua kategori, yaitu:
1) Perilaku berlebihan (excessive)
Merupakan perilaku yang terlalu banyak dan tidak perlu sehingga perlu dikurangi, misalnya:
a) Agresif
b) Emosi yang tidak terkendali
c) Mengamuk (tantrum) dengan berbagai cara, termasuk menendang, menjerit, menggigit, dan lain-lain
d) Stimulasi diri, menggerak-gerakkan jari sendiri dan mengamatinya terus menerus
e) Memberantakkan barang-barang
2) Perilaku kekurangan (deficient)
Merupakan perilaku yang seharusnya ada dan sudah dikuasai untuk anak yang seusia, namun pada anak autis masih terlihat kurang atau mungkin sama sekali belum ada, seperti:
a) Kontak mata kurang
b) Tidak merespon
c) Berbicara yang tidak bertujuan komunikasi
d) Membeo (ekolalia)
e) Motorik halus dan kasar kurang
f) Tidak mampu mengurus diri sendiri
g) Tidak mampu bersosialisasi, dan lain-lain
(Sunu, 2012).
b. Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan bagian dari rehabilitasi medis. Penekanan pada terapi ini adalah pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi, dan menginhibisi lingkungan sehingga tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kemampuan anak (Jurnal: Setyawan, 2010).
Tujuan terapi okupasi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1) Diversional
Ditujukan untuk mengisi kesibukan dan pengalih perhatian sehingga menghindarkan anak autis dari neurosis akibat rasa frustasi karena gagal dalam memenuhi tuntutan sosial.
2) Pemulihan fungsional
Ditujukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi tubuh seperti otot, sendi, dan anggota tubuh lainnya agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya da dapat dipakai secara wajar untuk beraktivitas sehari-hari dengan baik.
3) Latihan prevokasional
Memberi anak kesiapan untuk menghadapi tugas, pekerjaan, atau profesi yang ingin dijalaninya sesuai dengan kondisi anak (Sunu, 2012).
c. Terapi Sensori Integrasi
Merupakan bagian dari terapi okupasi yang dikembangkan oleh Dr. Ayres dan koleganya berdasarkan riset yang mereka lakukan. Tujuannya bukan menyembuhkan diagnosa autis, namun lebih bertujuan untuk memperbaiki fugsi otaknya sehingga anak lebih adaptif dan perilakunya membaik.
d. Terapi Snoezelen
Snoezelen berasal dari bahasa Belanda, snuffulen (to sniff yang berarti mencium) dan doezelen (to doze atau tidur sebenta) yang bermakna nyaman dan rileks. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mempengaruhi sistem saraf pusat anak dengan cara memberikan rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer anak.
e. Terapi Wicara
Terapi ini merupakan terapi yang diberikan untuk melatih kemampuan anak dalam menyampaikan informasi melalui komunikasi verbal menggunakan media bahasa atau linguistik.
f. Terapi Biomedis
Merupakan cara melakukan perbaikan pada anak melalui perbaikan metabolisme tubuhnya, seperti zat-zat yang mengganggu metabolisme dan fungsi sistem syaraf anak. Terapi memang lumayan rumit dan tidak bisa dilakukan sembarangan (Sunu, 2012).
g. Terapi Lingkungan Sosial
Tujuan dari terapi ini adalah mengendalikan dan meminimalkan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar anak, serta menurunkan atau mengubah perilaku yang mengganggu.
h. Terapi Bermain
Pelaksanaan terapi ini sebaiknya lebih fokus pada penilaian klien pada lingkungan. Oleh sebab itu, terapi ini harus bisa mengembangkan pola interaksi sosial yang berstruktur dengan mempraktikkan ketrampilan sosial melalui pola bermain dan tetap memberikan penguatan positif pada perilaku yang sesuai (Pieter, dkk., 2011).
2.1.9 Perkembangan Anak Autis
Pada usia bayi memang sulit untuk mendiagnosa apakah bayi menderita autis atau tidak, tetapi penting untuk mengetahui gejala dan tanda penyakit ini sejak dini agar penanganan dapat segera dilakukan sehingga lebih cepat memberikan hasil yang lebih baik. Ada beberapa gejala yang harus diwaspadai terlihat sejak dan menurut usia :
a. Usia 0-6 Bulan
1) Bayi jarang menangis
2) Terlalu sensitif atau cepat terusik
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan terutama saat dimandikan
4) Tidak ditemukan senyum sosial usia >10 minggu
5) Tidak ada kontak mata usia > 3 bulan
6) Perkembangan motorik kasar atau halus sering tampak normal
b. Usia 6-12 Bulan
1) Jarang menangis
2) Terlalu sensitif
3) Gerakan tangan dan kaki berlebihan
4) Sulit digendong
5) Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
6) Tidak ditemukan senyum sosial; tidak ada kontak mata
7) Perkembangan motori kasar atau halus tampak normal
c. Usia 12-24 Bulan
1) Kaku bila digendong
2) Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
3) Tidak mengeluarkan kata
4) Tidak tertarik pada boneka
5) Memperhatikan tangannya sendiri
6) Terdapat keterlambatan perkembangan motorik kasar atau halus
7) Mungkin tidak mau menerima makanan cair
d. Usia 2-3 tahun
1) Tidak tertarik bersosialisasi dengan anak yang lain
2) Melihat orang sebagai benda
3) Kontak mata terbatas
4) Tertarik pada benda tertentu
5) kaku bila digendong
e. Usia 4-5 Tahun
1) Mengeluarkan suara yang aneh
2) Marah bila rutinitasnya berubah
3) Menyakiti diri sendiri
4) Pemarah (tempramen) atau agresif
(Rachmawati, 2012).
2.1.10 Hambatan Belajar Pada Anak Autis
Berbagai gangguan yang dialami oleh anak autis secara potensial memiliki resiko tinggi terhadap munculnya hambatan dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan totalitas perkembangan kepribadiannya. Kondisi ini menimbulkan permasalahan yang akan mengakibatkan anak mengalami hambatan atau gangguan dalam belajar. Secara umum, Hadis (2006) mengungkapkan beberapa gangguan yang dialami oleh siswa (anak) autis terkait dengan kegiatan belajar diantaranya:
a. Perilaku
Adanya perilaku khas pada anak autis sering kali membuat para guru dan siswa lain di kelas bingung. Perilaku tersebut sangat tidak wajar dan cenderung mengalihkan perhatian. Selain masalah perilaku yang lebih berupa dorongan dari perkembangan neurobiologis, sering masalah perilaku merupakan manifestasi dari frustrasi siswa autis itu sendiri (sulit memahami materi belajar, sulit berkomunikasi, sulit berinteraksi) atau reaksi anak terhadap stimulasi lingkungan yang tidak dapat mereka perkirakan. Keadaan anak yang cenderung peka secara berlebihan (suara, sentuhan, irama) terhadap stimulus lingkungan juga seringkali membuat anak berperilaku kurang menyenangkan. Anak autis mengalami gangguan dalam perkembangan modalitas sensorinya (hypersensitivities atauhyposensitivities) sehingga sulit memfokuskan perhatian pada suatu informasi. Keadaan ini mengakibatkan kesulitan untuk melakukan seleksi terhadap informasi yang diterimanya dan selanjutnya informasipun tidak dapat diproses sebagaimana mestinya.
b. Pemahaman
Adanya gangguan pada proses informasi dan koneksi menyebabkan munculnya hambatan anak autis mengikuti pelajaran di sekolah umum. Mereka lebih berespons terhadap stimulus visual, sehingga instruksi dan uraian verbal (apalagi yang panjang dalam bahasa rumit) akan sulit mereka pahami. Kecenderungan mono pada diri anak autis tidak memungkinkan mereka mengerjakan 2-3 hal sekaligus pada satu waktu yang sama (menatap sambil mendengarkan, mendengarkan sambil menulis). Gaya berpikir mereka yang visual dalam bentuk film, gambar, ataupun berbentuk benda nyata, membuat reaksi mereka lebih lambat daripada anak lain, dimana mereka memerlukan jeda waktu lebih lama sebelum merespon sesuatu. Anak autis mengalami kesulitan memusatkan perhatian, sering ter-distraksi, apalagi di kelas dengan jumlah siswanya cukup banyak dengan suara yang sangat hiruk pikuk. Proses pemahaman ini memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan memproses informasi namun juga dipengaruhi oleh potensi yang dimiliki oleh anak autis. Pada anak autis yang tergolong low functioning (berkemampuan rendah) pemahaman terhadap sebuah informasi akan lebih sulit dilakukan bila dibandingkan dengan anak yang high functioning (berkemampuan tinggi).
c. Komunikasi
Merupakan salah satu gangguan yang dialami oleh anak autis, dimana mereka sulit mengekspresikan keinginan ataupun kemampuan dirinya. Kemampuan anak autis untuk mengungkapkan sesuatu sulit direalisasikan, misalnya jika di beri instruksi atau perintah mereka tidak mudah untuk merespon atau jika anak menginginkan sesuatu sulit untuk mengungkapkan keinginannya kepada orang lain. Sebagian besar anak autis, meskipun dapat berbicara namun lebih sering menggunakan kalimat pendek dengan kosakata yang sederhana. Seringkali mereka dapat mengerti apa yang disampaikan oleh orang lain, apabila orang tersebut berbicara langsung kepada mereka atau menatap kearah mereka. Itu sebabnya kadang anak autis tampak seakan tidak mendengar, padahal kita memanggil mereka dengan suara yang sudah cukup keras. Anak autis yang sulit berkata-kata atau berbicara, seringkali mengungkapkan diri melalui perilaku. Semakin mereka tidak dipahami, maka mereka semakin frustrasi. Lingkungan yang kurang dapat melihat ciri ini secara obyektif akan memaksakan agar anak-anak tersebut berbicara dalam mengungkapkan diri, sehingga berakibat tekanan pada mereka yang lalu membuat mereka berperilaku negatif. Keadaan ini sering kali dianggap bahwa anak autis tidak mempunyai kemampuan, akibatnya kebutuhan belajar anak tidak terakomodasi dan terhambat, oleh karena itu, penting memahami hal-hal khusus yang ada pada anak autis.
d. Interaksi
Anak autis juga bermasalah pada perkembangan keterampilan sosialnya, sulit berinteraksi, tidak mampu memahami aturan-aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya tidak memiliki banyak teman. Kemampuan penyesuaian diri pada anak autis merupakan masalah yang sangat menonjol. Interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku yang ditampilkan seringkali mengakibatkan anak sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Akibatnya berbagai kegiatan pembelajaran seringkali sulit diikuti oleh anak autis. Oleh karena itu dibutuhkan persiapan dan strategi yang matang agar pengelolaan dalam pelaksanaan pembelajaran anak autis dapat berlangsung efektif. Minat anak autis yang terbatas pada orang lain di sekitarnya membuat mereka lebih senang menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul, mereka hanya memiliki 1-2 teman yang dapat memberikan rasa aman kepada mereka dan pada umumnya anak autis mengalami kesulitan beradaptasi dalam kelompok yang dibentuk secara acak atau mendadak. Misalnya kelompok diskusi kelas yang anggotanya ditunjuk secara langsung oleh guru seringkali membuat anak autis tidak nyaman sehingga tidak mampu berkontribusi dalam diskusi di kelompoknya (Jurnal: Mutia, 2011).
Menurut Sugiarmin (2011) hambatan atau gangguan dalam belajar tersebut dapat dianalisis melalui tiga dimensi berikut ini:
a. Dimensi proses
Berkaitan dengan ketidakmampuan, kesulitan, atau kegagalan untuk menerima dan menafsirkan informasi. Hambatan dalam berinteraksi sosial dan memfokuskan perhatian kepada objek belajar mengakibatkan anak tidak dapat menyerap dan merespon secara tepat dan benar terhadap berbagai stimulus atau perintah dalam mengikuti kegiatan belajar.
b. Dimensi produk
Berkaitan dengan kegagalan untuk mencapai prestasi sesuai harapan atau tujuan. Proses belajar akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menerima, menyerap dan merespon informasi yang diberikan. Anak yang tidak dapat melakukan proses tersebut akan mengalami kesulitan untuk mencapai prestasi belajar yang diharapkan. Anak autis dengan gangguan yang dialaminya sering gagal untuk mencapai prestasi belajar sebagaimana anak umumnya yang tidak mengalami hambatan dalam menerima dan memproses informasi, oleh karena itu penting diperhatikan kesesuaian antara tujuan belajar dengan kebutuhan dan hambatan yang dialami anak autis.
c. Dimensi akademik
Berkaitan dengan kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Hambatan dalam bidang akademik ini merupakan pengaruh dari hambatan-hambatan yang menyertai anak autis seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
2.1.11 Pendidikan Pada Anak Autis
Seperti halnya anak-anak lainnya, anak autis juga memiliki hak untuk menikmati pendidikan sebagai bagian dari perkembangan diri mereka. Setiap anak pada dasarnya memiliki kebutuhan khusus dan kecerdasan yang unik, demikian juga dengan anak autis. Cara belajar anak autis mungkin pada taraf tertentu akan berbeda dengan anak-anak mainstream pada umumnya, disinilah sekolah yang menganut filosofi inklusi idealnya akan berusaha memfasilitasi metode belajar terbaik yang dibutuhkan oleh anak.
Sekolah, guru, dan psikolog sekolah merupakan salah satu penunjang tumbuh kembang optimal anak autis dari segi pendidikan, meskipun demikian, orang tua tetap harus memegang peran utama yang mengetahui seluk beluk anaknya. Orang tua sebaiknya secara aktif menjalin komunikasi dengan guru dan pihak sekolah mengenai perkembangan putra-putri mereka serta memberikan informasi yang dibutuhkan kepada guru di sekolah yang menangani pendidikan putra-putri mereka (Sunu, 2012).
Sementara itu, guru juga dituntut optimal untuk memahami apa saja kebutuhan, kemampuan yang dimiliki, gangguan atau masalah yang dihadapi oleh anak autis, serta perlu mengetahui pola belajar anak sehingga membantu guru dalam menyampaikan informasi secara tepat. Terdapat beberapa pola belajar anak autis diantaranya:
a. Rote learner
Yaitu anak cenderung menghafalkan informasi apa adanya tanpa memahami makna simbol yang dihafalkan itu
b. Gestalt learner
Yaitu anak cenderung melihat sesuatu secara keseluruhan, misalnya menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata yang terdapat pada kalimat tersebut.
c. Visual learner
Yaitu anak mudah memahami sesuatu yang dilihat daripada yang mereka dengar, misalnya lebih senang mempelajari buku yang dilengkapi dengan gambar, lebih senang melihat gambar di televisi daripada mendengarkan radio.
d. Hands on leaner
Yaitu anak senang mencoba melakukan sesuatu dan mendapatkan pengetahuan dari pengalaman mencobanya tersebut.
e. Auditory learner
Yaitu senang bicara dan lebih mudah memahami sesuatu yang mereka dengar daripada yang mereka lihat.
(Mutia, 2011).
2.1.12 Diet Untuk Penderita Autis
Beberapa ahli gizi menganjurkan untuk berpantang dari makanan yang mengandung gluten dan kasein. Sebenarnya belum ada penelitian yang jelas mengenai dampak pola makan ini terhadap gejala autis. Namun banyak orangtua yang mengklaim pola makan ini efektif mengurangi gejala autis pada anaknya.
Berikut adalah jenis makanan yang harus dipantang oleh penderita autis:
a. Gluten
Gluten adalah protein yang terkandung dalam gandum, barley dan tepung terigu. Kelompok advokasi autisme bernama Talk About Curing Autism (TACA) merekomendasikan orangtua dengan anak autis untuk membaca label makanan dengan hati-hati dan menghindari asupan gluten.
TACA juga merekomendasikan untuk menghindari barley, millet danoat (bahan dalam sereal) karena diolah didekat pengolahan gluten dan besar kemungkinannya telah terkontaminasi.
Karena gluten banyak mengandung vitamin dan serat, menerapkan pola makan anti gluten akan memerlukan panduan ketat dari ahli gizi dan dokter agar anak autis tetap mendapat nutrisi yang cukup.
b. Kasein
Kasein adalah protein yang ditemukan pada banyak produk makanan. Semua produk susu mengandung kasein termasuk keju, yoghurt, susu sapi, susu kambing, susu domba dan bahkan ASI. Kasein sama seperti gluten, diduga mempengaruhi proses metabolisme pada individu autis.
Menurut TACA, mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan ini menyebabkan gejala sulit berkomunikasi dan sulit melakukan kontak sosial. Menghindari asupan kasein dari makanan harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menyebabkan tubuh kekurangan nutrisi berharga seperti kalsium dan vitamin C.
c. Kedelai
Kecap, tempe dan minyak kedelai adalah beberapa makanan yang mengandung kedelai. Beberapa makanan lain juga menggunakan kedelai sebagai bahan bakunya.
TACA merekomendasikan penyandang autis untuk menghindari produk kedelai karena kedelai yang diproduksi di Amerika sering dimodifikasi secara genetik sehingga bisa menyebabkan alergi makanan. Bacalah label makanan dengan cermat dan waspada.
Meskipun tidak ada penelitian yang dengan jelas menegaskan bahwa membatasi asupan kedelai dapat membantu meringankan gejala autisme, TACA menyatakan bahwa orangtua yang menerapkan pola makan ini menyaksikan perbaikan gejala autis pada anak-anaknya (Harnowo, 2012).
DAFTAR PUSTAKA
- Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
- Asrinah, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan; Masa Kehamilan. Yogyakarta: Graha Ilmu
- Bangun, Eviera MBR. 2011. Pola Pendidikan Pada Anak Autis, Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara
- Brilian, Annelis. 2013. Penderita Autisme di Indonesia Terus Meningkat; Tak Banyak Tenaga Medis yang Tertarik, (Online), http://www.jpnn.com/ read/2013/04/12/167064/Penderita-Autisme-di-Indonesia-Terus-Meningkat, (diakses, 29 April 2013).
- Cristine, Adriana Poli. 2006. Deskripsi Penerapan Proses Belajar Mengajar Pada Anak Autis Dengan Modifikasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi UBAYA
- Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (dalam Setting Pendidikan Inklusi). Bandung: Refika Aditama
- Dewi & Sunarsih. 2011. Asuhan Kehamilan Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
- Habiburrohman, Muhammad. 2011. Manajemen Pembelajaran Bagi Anak Autis Pada Jenjang SD di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Kota Magelang, Skripsi. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo
- Harnowo, Putro Agus. 2012. Jumlah Anak Autis di 2012 Makin Banyak, (Online), http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/348-pantangan-buat-anak-autis, (diakses, 29 April 2013).
- Hartati, Diah. 2010. Buku Serba Tahu Kehamilan, Persalinan, & Perawatan Bayi. Yogyakarta: Citra Media
- Hidayat, A. Aziz Alimul. 2010. Metodologi Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika
- Laurent & Reader. 2009. Ensiklopedia Perkembangan Bayi. Jakarta: Erlangga
- Malik, dkk. 2010. Kegiatan Olahraga Anak Autis di Sekolah Laboratorium Autisme UM, Laporan Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang
- Maulana, Mirza. 2007. Anak Autis; Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Yogyakarta: Katahati
- Muniroh, Siti Mumun. 2010. Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis, Jurnal Penelitian vol.xii no.2. Pekalongan: STAIN Pekalongan
- Mutia, Fitri. 2011. Kemampuan Anak Autis Menyerap Informasi Melalui Proses Belajar di Sekolah Inklusi, Jurnal Penelitian. www.autis.info, (diakses, 29 April 2013).
- Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
- Nursalam 2008. Konsep Dan Penerapan Metpen Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
- Pertiwi, Putri. 2013. Pola Komunikasi Anak Autis Didalam dan Diluar Sekolah, Jurnal Penelitian. Lampung: Universitas Bandar Lampung
- Pieter, dkk. 2011. Pengantar Psikopatologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
- Pramudiarja, AN Uyung. 2013. Tingkat Keparahan Autisme Dipengaruhi Lamanya Masa Hamil, (Online), http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/350-tingkat-keparahan-autisme-dipengaruhi-lamanya-masa-hamil, (diakses, 29 April 2013).
- ______________________. 2013. Obesitas Saat Hamil Berisiko Lahirkan Anak Autisme, (Online), http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/ 338-obesitas-saat-hamil-berisiko-lahirkan-anak-autisme, (diakses, 29 April 2013).
- Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Puataka
- Pujiani, Helena. 2007. Dampak Psikologis Orang Tua Yang Mempunyai Anak Autis, Skripsi. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata
- Rachmawati, Evy. 2012. www.kompas.com, (diakses, 29 April 2013)
- Rukiyah, dkk. 2009. Asuhan Kebidanan I (Kehamilan). Jakarta: Trans Info Media
- Setyawan, Farhan. 2010. Pola Penanganan Anak Autis di Yayasan Sayab Ibu (YSI) Yogyakarta, Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
- Solikhah, Umi. 2011. Asuhan Keperawatan; Gangguan Kehamilan, Persalinan, dan Nifas. Yogyakarta: Nuha Medika
- Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
- Sunu, Christopher. 2012. Panduan Memecahkan Masalah Autisme; Unlocking Autism. Yogyakarta: Lintang Terbit
- Supriyono, Daniel. 2013. Autisme Bukan Penyakit, (Online), www.tabloidnova .com/Nova/Kesehatan/Anak/Autisme-Bukan-Penyakit, (diakses, 29 April 2013).
- William & Wright. 2007. How to live with Autism and Asperger Syndrome. Jakarta: Dian Rakyat
BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT