Lupus dalam bahasa Latin berarti “anjing
hutan/serigala”. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad yang lalu Lupus
adalah penyakit kronik /menahun, merupakan penyakit daya tahan tubuh atau
disebut penyakit “autoimun” artinya kekebalan/perlindungan (immune) terhadap
jaringan tubuh sendiri (auto). Hal ini disebabkan penderita penyakit ini pada
umumnya memiliki butterfly rash atau ruam merah berbentuk kupu-kupu di pipi
yang serupa di pipi serigala, tetapi berwarna putih. (Bruner
and Sudart 2006)
SLE(Sistemic Lupus Erythematosus) adalah penyakit
radang multisystem yang sebab nya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit
yang mungkin dapat akut dan kronik remisi serta eksaserbasi disertai adanya
berbagai macam auto antibody dalam tubuh. Klasifikasi SLE (Sistemic Lupus
Erythematosus) ada 3 jenis penyakit lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid
Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang
menyerang kulit.
2. Systemics
Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti
kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf.
Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced,
penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya
biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
B.
Etiologi
Faktor penyebab terserangnya seseorang terhadap
penyakit Lupus hingga kini belum diketahui, tetapi pengaruh lingkungan dan
faktor genetik, hormon diduga sebagai penyebabnya :
1. Faktor
Genetik : Tidak diketahui gen atau gen – gen apa yang menjadi penyebab penyakit
tersebut, 10% dalam keluarga Lupus mempunyai keluarga dekat orang tua atau kaka
adik yang juga menderita lupus, 5% bayi yang dilahirkan dari penderita lupus
terkena lupus juga, bila kembar identik, kemungkinan yang terkena Lupus hanya salah
satu dari kembar tersebut.
2. Faktor
lingkungan sangat berperan sebagai pemicu Lupus, misalnya : infeksi, stress,
makanan, antibiotik (khususnya kelompok sulfa dan penisilin), cahaya ultra
violet (matahari) dan penggunaan obat – obat tertentu.
3. Faktor
hormon, dapat menjelaskan mengapa kaum perempuan lebih sering terkena penyakit
lupus dibandingkan dengan laki-laki. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit
Lupus sebelum periode menstruasi atau selama masa kehamilan mendukung keyakinan
bahwa hormon, khususnya ekstrogen menjadi penyebab pencetus penyakit Lupus.
Akan tetapi hingga kini belum diketahui jenis hormon apa yang menjadi penyebab
besarnya prevalensi lupus pada perempuan pada periode tertentu yang menyebabkan
meningkatnya gejala Lupus masih belum diketahui.
4. Faktor
sinar matahari adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala Lupus.
Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak ekstrogen sehingga
mempermudah terjadinya reaksi autoimmun. Tetapi bukan berarti bahwa penderita
hanya bisa keluar pada malam hari. Pasien Lupus bisa saja keluar rumah sebelum
pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00 WIB dan disarankan agar memakai krim
pelindung dari sengatan matahari. Teriknya sinar matahari di negara tropis
seperti Indonesia, merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang
peka terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan di
bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity) sebagai reaksi
kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari.
C.
Klasifikasi
Ada
tiga jenis lupus, yaitu :
1. Lupus
Eritematosus Sistemik (LES), dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak,
lupus paru-paru, lupus pembuluh darah jari-Jari tangan atau kaki, lupus kulit,
lupus ginjal, lupus jantung, lupus darah, lupus otot, lupus retina, lupus
sendi, dan lain-lain.
2. Lupus
Diskoid, lupus kulit dengan manifestasi beberapa jenis kelainan kulit. Termasuk
paling banyak menyerang.
3. Lupus
Obat, yang timbul akibat efek samping obat dan akan sembuh sendiri dengan
memberhentikan obat terkait. Umumnya berkaitan dengan pemakaian obat
hydralazine (obat hipertensi) dan procainamide (untuk mengobati detak jantung
yang tidak teratur).
D.
Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi
kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa
turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi
diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi
antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali. Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam
tubuh muncul berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan
organ tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas. Antibodi yang
berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu
1. Pertama,
antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh, seperti pada
sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur. Inilah yang mengakibatkan
penderitanya kekurangan sel darah merah atau anemia.
2. Kedua,
antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang pembentukan antibodi),
membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.Gabungan antibodi dan antigen
mengalir bersama darah, sampai tersangkut di pembuluh darah kapiler akan
menimbulkan peradangan. Dalam keadaan normal, kompleks ini akan dibatasi oleh
sel-sel radang (fagosit). Tetapi, dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak
dapat dibatasi dengan baik. Malah sel-sel radang tadi bertambah banyak sambil
mengeluarkan enzim, yang menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya,
proses peradangan akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan
mengganggu fungsinya.
E.
Gejala
Klinis
Gejala klinis dan perjalanan penyakit lupus sangat
bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya
berbagai sistem dalam tubuh. Penyakit dapat juga menahun dengan gejala pada
satu sistem yang lambat laun diikuti oleh terkenanya sistem yang lain. Pada
tipe menahun terdapat masa bebas gejala dan masa kambuh kembali. Masa bebas
gejala dapat berlangsung bertahun-tahun. Munculnya penyakit dapat spontan atau
didahului faktor pemicu. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum, seperti
demam, badan lemah, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun.
F.
Manifestasi
Klinis
1. Sistem
Muskuloskeletal
Artralgia,
artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem
Integumen
Lesi akut pada
kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung
serta pipi.Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem
Kardiak
Perikarditis
merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem
Pernafasan
Pleuritis atau
efusi pleura.
5. Sistem
Vaskuler
Inflamasi pada
arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura di
ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem
Perkemihan
Glomerulus renal
yang biasanya terkena.
7. Sistem
Saraf
Spektrum
gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
G.
Diagnosis
Diagnosis SLE seringkali sulit ditegakkan karena
gejala klinis penyakitnya sangat beraneka ragam. Untuk menegakkan diagnosis SLE
umumnya harus dilakukan melalui dua tahapan. Pertama, menyingkirkan kemungkinan
diagnosis penyakit lain. Kedua, mencari tanda dan gejala penyakit yang memiliki
nilai diagnosis tinggi untuk SLE. Berdasarkan kriteria American College of
Rheumatology (ACR) 1982, diagnosis lupus dapat ditegakkan secara pasti jika
dijumpai 4 kriteria atau lebih dari 11 kriteria, yaitu:
1.
Bercak-bercak merah
pada hidung dan kedua pipi yang memberi gambaran seperti kupu-kupu (butterfly
rash)
2.
Kulit sangat sensitif
terhadap sinar matahari (photohypersensitivity).
3.
Luka di langit-langit
mulut yang tidak nyeri.
4.
Radang sendi ditandai
adanya pembengkakan serta nyeri tekan sendi.
5.
Kelainan paru.
6.
Kelainan jantung.
7.
Kelainan ginjal.
8.
Kejang tanpa adanya
pengaruh obat atau kelainan metabolik.
9.
Kelainan darah
(berkurangnya jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah).
10.
Kelainan sistem
kekebalan (sel LE positif atau titer anti-ds-DNA abnormal atau antibodi anti SM
positif atau uji serologis positif palsu sifilis)
11.
Antibodi antinuklear
(ANA) positif.
Kelainan yang paling sering adalah
kelainan sendi dan kelainan kulit. Sendi yang sering terkena adalah sendi
jari-jari tangan, sendi lutut, sendi pergelangan tangan dan sendi pergelangan
kaki. Kelainan kulit berupa butterfly rash dianggap khas dan banyak menolong
dalam mengarahkan diagnosis lupus.
H. Komplikasi
Kehamilan
Pada
kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga berkaitan dengan
kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan perkembangan janin atau pun bayi
meninggal saat lahir. Tetapi hal yang berkebalikan juga mungkin atau bahkan
memperburuk gejala lupus. Sering dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil
atau setelah melahirkan.
Dalam
kehamilan sering terjadi kelainan kulit sehingga kambuhnya lupus dapat tidak
diketahui, namun pada umumnya tetap dapat diobati dengan obat yang terseleksi.
Lebih baik apabila ibu dengan lupus tidak mendapat obat-obatan selama hamil,
namun belum ada laporan bahwa obat-obat untuk lupus (kecuali cyclophosphamide
atau golongan kortikosteroid selain prednison) menyebabkan cacat janin meskipun
jumlah kasus belum banyak
I. Penatalaksanaan Medis
1.
Pengobatan
Sampai
sekarang, SLE memang belum dapat disembuhkan secara sempurna. Meskipun
demikian, pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang
mungkin terjadi. Program pengobatan yang tepat bersifat sangat individual
tergantung gambaran klinis dan perjalanan penyakitnya. Pada umumnya, penderita
SLE yang tidak mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ
vital dapat diterapi secara konservatif.
Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ vital, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif. Terapi konservatif maupun agresif
sama-sama menggunakan terapi obat yang digunakan secara tunggal ataupun kombinasi.
2.
Terapi konservatif
biasanya menggunakan :
a.
anti-inflamasi
non-steroid (indometasin, asetaminofen, ibuprofen), salisilat, kortikosteroid
(prednison, prednisolon) dosis rendah
b.
antimalaria
(klorokuin). Terapi agresif menggunakan kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresif (azatioprin, siklofoshamid).
Selain itu, penderita SLE perlu diingatkan untuk
selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi
atau payung bila akan bekerja di bawah sinar matahari karena penderita sangat
sensitif terhadap sinar matahari. Infeksi juga lebih mudah terjadi pada
penderita SLE, sehingga penderita dianjurkan mendapat terapi pencegahan dengan
antibiotika bila akan menjalani operasi gigi, saluran kencing, atau tindakan
bedan lainnya. Salah satu bagian dari pengobatan SLE yang tidak boleh
terlupakan adalah memberikan penjelasan kepada penderita mengenai penyakit yang
dideritanya, sehingga penderita dapat bersikap positif terhadap terapi yang
akan dijalaninya.
BACA JUGA:
No comments:
Post a Comment